Matapubliknusantara.com, Sukra, Indramayu - Dua hari pasca terbitnya surat pernyataan Makrus Hadi Prayitno, Kepala Desa Tegal Taman, Kecamatan Sukra, Kabupaten Indramayu, yang berjanji akan membuka saluran irigasi yang ditutup oleh PT Tesco Indomaritim dalam waktu 15 hari kerja, PT Tesco Indomaritim masih tetap beroperasi.
Padahal, saluran irigasi tersebut merupakan milik Pemdes Tegal Taman dan penutupan saluran tersebut tanpa izin dan kewenangan dari PT Tesco Indomaritim telah menyebabkan lahan warga terisolir selama tiga musim tanam dan tidak bisa bertani.
Ikhwanto S.H., Tim liputan yang mengawal warga telah memantau aktivitas PT Tesco Indomaritim dan menemukan bahwa perusahaan tersebut masih melakukan pekerjaan. Jum'at 18 Oktober 2024.
Hal ini menjadi pertanyaan besar, mengingat hasil monitoring Ombudsman RI pada tanggal 27 September 2024 menyatakan bahwa PT Tesco Indomaritim harus ditutup dan dihentikan sementara karena tidak memiliki perizinan dasar.
Kemana janji Suratno, Kabid Pengawasan DPMPTSP Kabupaten Indramayu, yang akan melakukan sidak dan menutup PT Tesco Indomaritim dengan tindakan yang lebih tegas?
Hingga saat ini, belum ada tindakan nyata dari pihak DPMPTSP Kabupaten Indramayu untuk menindaklanjuti hasil monitoring Ombudsman RI.
Satpol PP Kabupaten Indramayu, yang dipimpin oleh Kabid Gakda Esmega, juga terkesan bungkam.
Ucapan salah satu pekerja PT Tesco Indomaritim yang menyebutkan bahwa Satpol PP Kabupaten Indramayu menjadi pengadu domba semakin mempertanyakan kinerja Satpol PP.
Apakah Satpol PP Kabupaten Indramayu akan tetap diam dan tidak mengambil tindakan tegas?
Camat Sukra, A Bagus Trisnandi, juga terkesan tidak menunjukkan ketegasan dalam menangani permasalahan ini.
Penutupan saluran irigasi tanpa izin merupakan pelanggaran terhadap UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, khususnya Pasal 98 ayat (1) yang mengatur tentang pidana bagi yang merusak lingkungan.
Selain itu, penutupan saluran irigasi juga merupakan pelanggaran terhadap UU No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, khususnya Pasal 40 yang mengatur tentang larangan merusak dan menutup fasilitas umum tanpa izin.
Saluran irigasi merupakan fasilitas umum milik Pemdes Tegal Taman dan penutupan saluran tersebut telah berdampak pada lahan milik warga yang terisolir, sehingga tidak dapat teraliri air dan selama tiga musim tidak dapat bertani.
Ombudsman RI, yang diwakili oleh Ombudsman perwakilan Jawa Barat di Kota Bandung, telah mengeluarkan pernyataan bahwa PT Tesco Indomaritim harus ditutup.
Pasal 71 UU No. 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman RI menyatakan bahwa setiap orang wajib menghormati dan menaati hasil monitoring Ombudsman RI.
Apakah Ombudsman RI akan memberikan sanksi tegas kepada Suratno selaku Kabid Pengawasan DPMPTSP Kabupaten Indramayu atas ketidakpatuhannya dalam menjalankan hasil monitoring Ombudsman RI?
Roziki selaku pemilik lahan yang terisolir dampak pembangunan PT Tesco Indomaritim bersama Warga Desa Tegal Taman lainnya berharap agar pihak terkait segera mengambil tindakan tegas terhadap PT Tesco Indomaritim dan membuka kembali saluran irigasi yang telah ditutup.
Mereka juga berharap agar Ombudsman RI dapat memberikan sanksi tegas kepada pihak yang tidak patuh terhadap hasil monitoring Ombudsman RI.
Warga yang terisolir dampak pembangunan PT Tesco Indomaritim juga berharap agar Ombudsman RI segera turun tangan langsung ke DPMPTSP Kab Indramayu untuk memberikan sanksi tegas kepada DPMPTSP Kab Indramayu.
Mereka menilai bahwa janji DPMPTSP Kab Indramayu untuk mempertemukan antara pemilik lahan yang terisolir dampak pembangunan PT Tesco Indomaritim dengan direktur PT Tesco Indomaritim, Jamin Basuki, tidak ada realisasinya.
Kejadian ini menjadi bukti nyata bahwa penegakan hukum di Indonesia masih lemah.
Perusahaan yang tidak memiliki perizinan dasar masih dapat beroperasi dengan bebas, sementara pihak berwenang terkesan lamban dalam mengambil tindakan tegas.
Diharapkan agar kasus ini dapat segera ditindaklanjuti oleh pihak berwenang dan menghasilkan keadilan bagi masyarakat dan lingkungan.
Dasar Kuat Perjuangan Petani: Menelisik Aturan dan Nilai Luhur
Perjuangan para petani di Indonesia untuk mendapatkan keadilan dan hak atas tanah memiliki landasan kuat yang bersumber dari berbagai aturan hukum dan nilai luhur bangsa.
Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menjadi landasan utama dalam memperjuangkan hak-hak petani. Pasal ini menegaskan bahwa "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat." Pasal ini menekankan bahwa negara memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa sumber daya alam, termasuk tanah, digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, termasuk para petani.
Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 menguatkan prinsip fungsi sosial tanah. Pasal 6 menyatakan bahwa "Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial", sedangkan Pasal 7 menegaskan bahwa "Untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan." Aturan ini bertujuan untuk mencegah penguasaan tanah yang tidak adil dan merugikan masyarakat luas, termasuk para petani.
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani menetapkan berbagai strategi untuk melindungi dan memberdayakan petani. Pasal 7 ayat (2) mencantumkan strategi seperti "prasarana dan sarana produksi Pertanian, kepastian usaha, harga Komoditas Pertanian, penghapusan praktik ekonomi biaya tinggi, ganti rugi gagal panen akibat kejadian luar biasa, sistem peringatan dini dan penanganan dampak perubahan iklim dan Asuransi Pertanian." Aturan ini menekankan pentingnya dukungan negara bagi petani, terutama dalam menghadapi berbagai tantangan seperti perubahan iklim dan fluktuasi harga komoditas.
Pasal 12 ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 menetapkan perlindungan khusus bagi beberapa kelompok petani, seperti:
- Petani penggarap tanaman pangan yang tidak memiliki lahan Usaha Tani dan menggarap paling luas 2 (dua) hektar;
- Petani yang memiliki lahan dan melakukan usaha budi daya tanaman pangan pada lahan paling luas 2 (dua) hektare; dan/atau
- Petani hortikultura, pekebun, atau peternak skala usaha kecil.
Perlindungan khusus ini menunjukkan komitmen negara untuk melindungi petani kecil yang rentan terhadap berbagai permasalahan.
Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2023 tentang Percepatan Pelaksanaan Reforma Agraria menekankan pentingnya percepatan pelaksanaan reforma agraria untuk menyelesaikan konflik agraria dan meningkatkan akses petani terhadap tanah.
Sila kelima (5) Pancasila, "Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia", menjadi landasan moral dan etika dalam memperjuangkan hak-hak petani. Pancasila sebagai dasar negara menjadi penuntun bagi seluruh aspek kehidupan bangsa, termasuk dalam pengaturan soal Agraria. Oleh karena itu, pengaturan soal Agraria harus mencerminkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, termasuk para petani.
Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hak Asasi Petani dan Orang-orang yang Bekerja di Pedesaan (UNDROP) menguatkan hak asasi petani di tingkat internasional. Deklarasi ini, yang disahkan pada 17 Desember 2018 oleh ratusan negara, termasuk Indonesia, menetapkan bahwa "Petani dan orang yang tinggal di pedesaan memiliki hak atas tanah, secara individu dan/atau kolektif."
Deklarasi UNDROP dan Sila kelima Pancasila menjadi landasan kuat bagi para petani untuk memperjuangkan hak-hak mereka, termasuk hak atas tanah, akses terhadap sumber daya, dan kesempatan untuk mendapatkan kehidupan yang layak.
Perjuangan para petani untuk mendapatkan keadilan dan hak atas tanah merupakan perjuangan untuk mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia yang merdeka, adil, dan makmur.
Perjuangan ini juga sejalan dengan amanat Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat."
Perjuangan para petani merupakan perjuangan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan untuk membangun bangsa Indonesia yang adil dan makmur. (*)